AGAR TIDAK LUPA

6 Feb

Nico Syukur Dister OFM

Dalam Majalah “Duta Damai”, September 2011, rubrik Kronik, hlm. 35, dikatakan bahwa pada tgl. 1 Agustus keempat saudara kita yang sudah tamat postulat dan sekarang menjadi novis, menerima “jubah pertobatan”. Sebutan ini sering kita dengar dan memang tepatlah kita pakai, walaupun dalam Anggaran Dasar dikatakan tentang penerimaan para novis bahwa “para minister hendaknya memberi mereka pakaian percobaan” (AngBul II:9; bdk AngTBul II:8). Para novis yang masih menjalani tahun percobaan (AngBul II:11) dan para saudara berprofes sama-sama memakai jubah, tetapi pada waktu itu (dan masih selama berabad-abad kemudian) terdapat juga sedikit perbedaan antara pakaian novis dan pakaian para saudara yang telah “diterima ke dalam ketaatan” (AngBul II:11; AngTBul II:9).

Namun demikian tepatlah juga bilamana jubah fransiskan disebut “jubah pertobatan”, karena pertobatan merupakan salah satu unsur pokok spiritualitas kita. Kalimat pertama dalam wasiat Fransiskus menyangkut rahmat pertobatan, dan seluruh hidup sebagai saudara dina dipandang oleh Il Poverello sebagai sebuah proses pertobatan yang berkelanjuan, sebab ia menulis dalam Wasiat itu juga: “Di mana pun mereka (= para saudara dina) tidak diterima, hendaklah mereka mengungsi ke tempat lain untuk melakukan pertobatan dengan berkat Allah” (Was 26). Sebelum Fransiskus menamakan ordonya “Ordo Saudara Dina” (1 Cel 38), ia sendiri bersama para saudara perdana memperkenalkan diri sebagai “poenitentes”, para pentobat: “Kami ini pentobat asal Asisi”, dan sampai sekarang Ordo Fransiskan Regular dan Sekular masih ditunjukkan dengan sebutan “Para Peniten”.

Bila kita ditanya apa sebabnya masuk OFM, banyak di antara kita akan menjawab bahwa mula-mula tertarik pada jubah fransiskan. Lama kelamaan daya tarik kiranya tidak lagi terletak dalam pakaian lahiriah melainkan dalam spiritualitas yang menjiwai ordo kita. Tetapi jubah dapat saja tetap mengingatkan kita akan panggilan untuk “melakukan pertobatan” sebagai proses seumur hidup. Khususnya di daerah pesisir di mana udaranya panas sekali, perbuatan mengenakan jubah di siang hari memanglah perbuatan ulah tapa……

Berjubah pada waktu sembahyang bukan hanya soal decorum religiosum, tetapi (sebagaimana dikatakan Gardian Jan Sjerps) juga merupakan kesempatan untuk mengingatkan diri sendiri akan panggilan kita sebagai saudara dina. Bagi tubuh kita sama sekali tidak enak bila sudah merasa panas, lalu masih mengenakan jubah sehingga lebih panas lagi. Saudara Keledai tentunya membangkang, dan ia diteguhkan dalam penolakan itu oleh Saudara Akal Sehat yang menyatakan kita gila ketika menjelang Perayaan Ekaristi atau Ibadat Harian mengenakan jubah, padahal suhu udara 32 derajat Celsius dan hawa sangat lembab. Bapa Fransiskus sangat gila akan Tuhan. Biarlah kita agak gila sedikit. Wajar saja bila seorang anak menyerupai ibu atau bapaknya.

Setiap kali ganti pakaian preman dengan pakaian jubah, saya berkata kepada diriku: “Jangan lupa membuktikan pertobatanmu hari ini!” Betul, saya ini seorang pentobat asal Sentani.

Leave a comment